Takhrijal-Manath adalah proses mengeluarkan illah yang tidak dinaskan ke atasnya dan tidak berlaku ijmak terhadapnya dengan mana-mana cara yang dapat membantu kita mengenalpastinya. Tahqiq al-Manath pula adalah proses penelitian dan pengkajian terhadap kewujudan illah asal pada furu’ (cabang). Perbezaan Di Antara Illah, Sebab Dan Hikmah.

Apakah Membagi Ilmu Islam Menjadi Usul dan Furu, Bid'ah? Apakah Membagi Ilmu Islam Menjadi Usul dan Furu, Bid'ah? Sun 11 November 2007 2228 Ushul Fiqih > Ijtihad views Pertanyaan Assalamu 'alaikumwr wb Ustad yang dirahmati oleh Alloh SWT Ana pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa membagi ilmu-ilmu Islam, seperti yang dijelaskan dalam bab Maqasit syari'ah adalah hal yang bid'ah, lalu kalau benar betapa sulitnya kita menentukan mana yang harus mendapat penekanan dan mana yang tidak perlu penekanan yang kuat, kalau jawabannya salah, maka apa ketentuan yang disepakati oleh ulama kita tentang mana yang furu dan mana yang usul, seperti contoh ibadah mahdoh seperti sholat adalah masuk katagori usul, tetapi untuk contoh, bagaimana persoalan kunut subuh belum selesai sampai saat ini. Mohon penjelasannya, dan atas perhatiannya saya ucapkan jazakumullohu khoiron katsiron. Jawaban Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Terkadang memang aneh-aneh dan ada-ada saja pendapat yang muncul di tengah dinamika umat. Kita harus memaklumi, semoga tujuannya mulia. Namun kalau boleh sedikit berkomentar, seharusnya kita tidak boleh terlalu apriori dengan perkembangan ilmu-ilmu keIslaman. Sebab kalau kita mau kembalikan semua ke zaman nabi, tentu semuanya akan menjadi bid'ah. Termasuk pembagian tauhid menjadi tauhid rububiyah, uluhiyah dan asma' wa sifat. Tidak ada satu pun hadits nabi yang menyebutkan ketiga macam tauhid itu. Dan kalau boleh meminjam logika di atas, pembagian tauhid menjadi tiga hal itu juga termasuk bid'ah. Sebab nabi SAW tidak pernah mengajarkannya. Demikian juga para shahabat dan salafusshalih. Ketiga istilah itu baru kita kenal sejak Muhammad bin Abdul Wahhab menulis kitab Tauhid. Dan beliau hidup di masa khalaf abad ke 18 M 1744 M. Apakah kita akan mengatakannya sebagai bid'ah yang sesat dan membuat siapa saja yang mempelajari tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai penghuni neraka? Rasanya kok tidak ya. Bahkan kalau kita mau jujur, istilah hadits shahih, hasan dan dhaif pun tidak pernah kita dengar di masa nabi masih hidup. Istilah itu baru kita kenal ratusan tahun kemudian setelah beliau SAW meninggal dunia. Para khalifah yang empat orang itu sama sekali tidak mengenal ilmu hadits dengan semua jenis istilah musthalah yang digunakan. Lantas, apakah kita akan mengatakan bahwa ilmu hadits dengan segala musthalahatnya adalah bid'ah? Apakah Syiekh Al-Albani itu juga sesat dan masuk neraka karena mengajarkan dan mengembangkan ilmu hadits yang di zaman nabi belum ada? Rasanya juga tidak kan? Dahulu sayyidina Umar radhiyallahu 'anhu pernah meminta kepada khalifah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu untuk menuliskan dan membukukan Al-Quran, sesuatu tidak pernah Rasulullah SAW perintahkan. Mungkin kalau orang yang anda ceritakan itu menjadi Abu Bakar, boleh jadi Umar sudah dikatakan ahli bid'ah. Tetapi seorang Abu Bakar bukan tipe orang yang pendek akal dan sempit ufuk wawasan. Beliau terbuka dalam banyak hal termasuk untuk membuat terobosan membukukan Al-Quran. Demikian juga dengan para shahabat lainnya, mereka punya dasar fiqih yang kuat. Buktinya, ketika Abu Bakar kemudian benar-benar menjalankan proyek penulisan dan pembukuan Al-Quran, kita tidak mendengar ada komentar dari satu shahabat yang menuding beliau sebagai ahli bid'ah. Rupanya para shahabat di zaman itu justru jauh lebih luas wawasannya dan bisa membedakan manaajaran Islamyang asasi dan fundamental yang tidak boleh berubahdan mana yang sifatnya teknis belaka sehingga menjadi sangat fleksibel. Maka ketika para fuqaha membuat dasar-dasar ushul fiqih serta metode istimbath hukum, dengan segala istilah dan metodologinya, kita juga tidak mungkin menuduhnya sebagai bid'ah sesat. Dan ketika kita membagi ajaran Islam menjadi ushul dan furu', juga tidak bisa disalahkan. Karena kenyataannya memang ada masalah yang fundamental dalam agama, yaitu wilayah aqidah mendasar. Di mana bila seseorang punya pandangan ushul yang keliru, bisa dikategorikan sebagai orang sesat. Sedangkan dalam masalah furu', perbedaan pendapat sangat dimungkinkan terjadi, lantaran tidak ada dalil yang sharih eksplisit dan disepakat oleh semua ulama. Wilayah itu menjadi wilayah ijtihad dan kebenaran menjadi tidak mutlak. Kita menyebut wilayah ini adalah wilayah furu', di mana kesalahan dalam berijtihad di dalamnya tidak akan membawa pelakunya ke dalam jurang kesesatan atau masuk neraka. Alangkah tidak adilnya Allah SWT kalau Dia memasukkan hamba-Nya ke neraka lewat jebakan-jebakan kecil yang tidak jelas dalilnya. Dan alangkah naifnya seseorang ketika mengklaim bahwa hanya hasil ijtihad dirinya saja yang paling sesuai dengan kemauan Allah SWT, sementara hasil ijtihad orang lain selalu dianggap salah, batil dan tidak sesuai dengan kemauan Allah. Wallahu 'alam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, LcBaca Lainnya Mengapa Indonesia Memusuhi Israel Tapi Berteman dengan Komunis? 11 November 2007, 0044 Negara > Arus politik viewsApakah Wali Songo Termasuk Generasi Salafussaleh? 9 November 2007, 0056 Umum > Sejarah viewsSepupu, Antara Wali Nikah dan Bukan Mahram? 8 November 2007, 2224 Pernikahan > Wali views10 Kriteria Aliran Sesat 8 November 2007, 0055 Aqidah > Aliran-aliran viewsBolehkah Ayat Alqur'an Dijadikan Ringtone? 8 November 2007, 0055 Al-Quran > Hukum viewsBertanya Lagi Tentang Hak Waris Ibu 6 November 2007, 2259 Mawaris > Hak waris viewsApakah Tabungan Perlu Dikeluarkan Zakatnya? 6 November 2007, 2219 Zakat > Zakat Uang Harta Emas viewsHadits Tidak Boleh Menikahi Sepupu, Shahihkah? 6 November 2007, 2211 Hadits > Status Hadits viewsAliran Aliran Sesat di Indonesia 6 November 2007, 0907 Aqidah > Aliran-aliran viewsMengapa Palestina Kelihatan Lemah? 6 November 2007, 0119 Negara > Polemik viewsTawar Menawar Kewajiban Shalat 5 Waktu 5 November 2007, 0012 Hadits > Status Hadits viewsIklan Berwisata ke Israel, Bolehkah? 4 November 2007, 2219 Negara > Hukum Islam viewsJumlah Ayat Quran Bukan 6666 Ayat? 4 November 2007, 0219 Al-Quran > Mushaf viewsMelangkahi Kakak Perempuan Menikah 2 November 2007, 2123 Pernikahan > Nikah berbagai keadaan viewsTentang Shalat Qobliyah Jumat 2 November 2007, 0042 Shalat > Shalat Jumat viewsMenukil Hadist Nabi Tanpa Perawi 1 November 2007, 2202 Hadits > Status Hadits viewsMajelis Dzikir, Bid'ahkah? 1 November 2007, 0845 Kontemporer > Bidah viewsBenarkah di Setiap Ayat Alquran Ada Khodam Jin? 1 November 2007, 0110 Al-Quran > Khazanah viewsPernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah Ra 31 October 2007, 0248 Pernikahan > Akad viewsMenikah Jarak Jauh 30 October 2007, 0120 Pernikahan > Nikah berbagai keadaan viewsTOTAL tanya-jawab 49,927,181 views USHULDAN FURU’ ISLAM Aqidah Syariat Akhlak USHULUDIN FURU’UDIN/FURU’ USHUL, yaitu Ajaran Islam yang sangat PRINSIP dan MENDASAR, sehingga Umat Islam wajib sepakat dalam Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam Ushul adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan. Furu’uddin biasa disingkat FURU’, yaitu
Pertanyaan Assalamu’alaikum, Ustadz. Apa benar bahwa dalam hal aqidah itu ada pembagian istilah ushul dan furu’? Jika memang ada, hal apa saja contohnya dari masing-masing itu? Jawaban Ustadz Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah. Ada perbedaan pendapat dalam hal ini 1. Kelompok ulama yang menolak adanya pembagian ushul pokok dan furu’ cabang dalam masalah aqidah. Misalnya, Imam Ibnu Taimiyah, bahkan beliau menyebut pembagian itu adalah bid’ah, dan merupakan ide dari mu’tazilah. Serta pembagian ini tidak dikenal oleh sahabat, tabi’in, dan para imam generasi awal. Mukhtashar Al Fatawa Al Mishriyah, Hal. 68 2. Kelompok ulama yang mengakui adanya ushul dan furu’ dalam aqidah. Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan ÙŰ„Ù† ŰŁŰ”ÙˆÙ„ Ű§Ù„ŰčÙ‚ÙŠŰŻŰ© هي Ű§Ù„Ű„ÙŠÙ…Ű§Ù† ŰšŰ§Ù„Ù„Ù‡ ÙˆÙ…Ù„Ű§ŰŠÙƒŰȘه وكŰȘŰšÙ‡ ÙˆŰ±ŰłÙ„Ù‡ ÙˆŰ§Ù„ÙŠÙˆÙ… Ű§Ù„ŰąŰźŰ± ÙˆŰšŰ§Ù„Ù‚ŰŻŰ± ŰźÙŠŰ±Ù‡ ÙˆŰŽŰ±Ù‡ŰŒ ÙˆŰŁÙ…Ű§ Ű§Ù„ÙŰ±ÙˆŰč فهي Ù…Ű§ يŰȘÙŰ±Űč Űčن Ù‡Ű°Ù‡ Ű§Ù„ŰŁŰ”ÙˆŰ§Ù„ من Ű§Ù„Ù…ŰšŰ§Ű­Ű« Ű§Ù„ŰčÙ‚ŰŻÙŠŰ©. Perkara ushul dalam aqidah adalah seperti iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari akhir, serta qadha dan qadar. Sedangkan furu’nya adalah apa-apa yang menjadi rincian cabang yang pokok ini dari berbagai pembahasan aqidah. Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 93671 Para ulama memberikan contoh yang furu’, seperti melihat Allah di surga, isra mi’raj itu jasad dan ruh atau hanya ruh saja, dll. Wallahu a’lam. Pertanyaan lanjutan Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut, Ustadz? Karena turunan dari hal tersebut menjadi madzhab dalam keberagamaan suatu jama’ah. Contohnya, ada jama’ah yang menolak pembagian tentang aqidah tersebut, lalu dikaitkan dengan pemahaman sifat Allah seperti tangan, tempat Allah berada, dan arsy. Dimana jama’ah yang menolak adanya pembagian aqidah tersebut mengatakan bahwa Allah berada di atas atau tangan Allah itu adalah tangan tapi yang berbeda dengan makhluk lainnya. Sedangkan sebaliknya yang membagi aqidah pada 2 istilah tersebut, ushul dan furu’ memberikan penafsiran yang berbeda. Jawaban Sama dalam menyikapi perbedaan ushul dan furu’ dalam fiqih. Tegas dalam ushul, toleran dalam furu’. Saya pribadi ikut pendapat bahwa dalam aqidah semuanya ushul, tinggal adabnya saja dijaga. jika kita berhadapan dengan saudara kita yang berpendapat adanya furu’ aqidah, kita tidak langsung menuduhnya sesat jika dia mengikuti ulama yang meyakini demikian. Sebagian orang atau kelompok, ada yang bersikap keras dalam hal ini bisa dimaklumi tapi belum tentu sikap itu layak diikuti. Yang mesti dikeraskan adalah jika ada pelanggaran dalam hal yang ushul atau pengingkaran secara mutlak. Keras bukan berarti kekerasan fisik. Wallahu a’lam.
Namunyang paling popular dalam perkembangannya ada tiga buah aliran pemikiran dalam islam, yaitu : 1. aliran kalam (teologi) 2. aliran fiqih (hukum) 3. aliran tasawuf. Sekarang kita kenal berbagai macam pemikiran atau aliran-aliran pemikiran dalam Islam. Hal tersebut sedikit membuat kaum muslimin bingung dalam menyaksikan realitas yang ada. APA YANG DIMAKSUD ILMU USHUL DAN FURU Para pembaca yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan apa yang dimaksud ilmu ushul dan furu’? Selamat membaca. Pertanyaan Apakah yang dimaksud masalah furu’ dalam hakikat fiqih adalah mengenal hukum-hukum syar’i salam masalah furu’? Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS Jawaban Bismillah. Sebagaimana yang telah banyak di berjalan dan dipergunakan oleh para ulama di dalam membagi cabang ilmu, yaitu Ushul dan Furu. Ushul masuk di dalamnya ilmu akidah dan ilmu ushul, dan menempatkan masalah-masalah ilmu fiqih sebagai ilmu furu` cabang. Mereka membagi pembagian ini berdasarkan pertimbangan, bahwa permasalahan yang ada udzur dari kesalahannya sebagai ilmu Furu dan yang tidak ada udzur dari kesalahannya disebut sebagai ilmu ushul. Keabsahan pembagian syariah menjadi ushul dan Furu` sebagaimana di atas telah ditentang dan dikritisi oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim serta para ulama yang lain. Mereka berpendapat bahwa pembagian tersebut belum pernah ada pada masa Nabi atau masa sahabat, bahkan ia dari Mu`tazilah dan semisalnya dari ahlul bid`ah, karena ilmu syariat semuanya pokok, tidak ada pokok atau cabang, semuanya penting. Dari pengingkaran terhadap permasalahan keduanya semua bisa menjadikan seseorang keluar dari agama bila mengingkarinya. Dan sebagainya dari hujjah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam. Silahkan baca sumber berikut Majmu fatawa 346 -347, 13/126, minhaj sunnah 5 48 – 95, Majmu fatawa 6/56 -57 Namun sebagian para ulama tetap berpendapat, bahwa pembagian ilmu ushul dan furu` hanya sebagai pembagi dari ilmu yang ada dari ulum syar`i tanpa menghilangkan identitas dan konsekuensi dari keduanya. Sehingga pembagian ilmu syar`i dengan ilmu ushul dan ilmu furu` diperbolehkan secara istilah. Wallahu a`lam. Dijawab dengan ringkas oleh Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. Ű­ÙŰžÙ‡ Ű§Ù„Ù„Ù‡ Jumat, 20 Ramadan 1443 H/ 22 April 2022 M Ustadz Mu’tashim Lc., Dewan konsultasi BimbinganIslam BIAS, alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., Ű­ÙŰžÙ‡ Ű§Ù„Ù„Ù‡ klik di sini Beliau adalah Alumni S1 Universitas Islam Madinah Syariah 2000 – 2005, S2 MEDIU Syariah 2010 – 2012 Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Syu’bah Takmili LIPIA, Syu’bah Lughoh Universitas Islam Madinah Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Taklim di beberapa Lembaga dan Masjid Read Next 3 days ago Alasan Ini Menjadikan Belajar Ilmu Duniawi Fardhu Khifayah 1 week ago Mempelajari Ilmu Duniawi, Fardhu Kifayah? 4 weeks ago Berhenti Kuliah, Dosa? April 20, 2023 Anda Lelah Berkerja? Jangan Mengeluh, Rutinkah Baca Ini! April 6, 2023 Apa Perbedaan Makna Fakir Dan Miskin? March 29, 2023 Diterima Kerja Karena Orang Dalam, Gajinya Halal? March 27, 2023 Hukum Memberikan Hadiah Dengan Syarat Tertentu March 22, 2023 Bagaimana Hukumnya Membantu Membuatkan Skripsi? March 15, 2023 Dilarang Memberikan Hadiah Untuk Pegawai! March 6, 2023 Hukum Menggambar Robot, Haram?
Ketiganyaterhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu : USHULUDDIN dan FURU’UDDIN. Ushuluddin biasa disingkat USHUL, yaitu Ajaran Islam yang sangat prinsip dan mendasar, sehingg Umat Islam wajib sepakat dalam Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam Ushul adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada
ArticlePDF AvailableAbstractThis paper aims to describe Takhrij as a medium for understanding the general rules established by imams that are built on the fiqh fiqh by induction and analyzing specific problems furu 'fiqhiyah, this is what the takhrij ushul means for furu'.Takhrij also means to resolve differences furu 'fiqhiyah with the ushuliyah rules originating from the imams. It is expected to find a law that does not have the proposition shara 'by returning it to the rules and ushul. With a literature study and comparative approach to descriptive analysis, it is found that fiqh takhrij is also used to recognize the law that comes from a priest in a problem that has no text. Its can be made by comparing it with the same furu 'problem with the texts qiyas, or comparing it with the understanding of Imam's texts or its generality. This is the furu takrij 'on furu'. Takhrij fiqh can be applied to contemporary problems such as loading and unloading insurance, inflation, copyright, furu 'and Syariah laws' in contemporary matters. The development of takhrij fiqh is dependent on the interaction of theory and practice in the existing field to produce solutions to contemporary problems. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam Vol. 5. No. 1, Mei 2020, 51-70 P-ISSN 2548-3374 p, 25483382 e DOI Takhrij Fikih dan Permasalahan Kontemporer Meirison Alizar Sali Universitas Islam Negeri UIN Imam Bonjol Padang meirison Desmadi Saharuddin Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rosdialena Universitas Islam Negeri UIN Imam Bonjol Padang rosdialena Received 18 Februari 2020 Abstract This paper aims to describe Takhrij as a medium for understanding the general rules established by imams that are built on the fiqh by induction and analyzing specific problems furu’ fiqhiyah, this is what the takhrij ushul means for furu'. Takhrij also means to resolve differences furu’ fiqhiyah with the ushuliyah rules originating from the imams. It is expected to find a law that does not have the proposition shara’ by returning it to the rules and ushul. With a literature study and comparative approach to descriptive analysis, it is found that fiqh takhrij is also used to recognize the law that comes from a priest in a problem that has no text. Its can be made by comparing it with the same furu’ problem with the texts qiyas, or comparing it with the understanding of Imam's texts or its generality. This is the furu’ tahkrij 'on furu'. Takhrij fiqh can be applied to contemporary problems such as loading and unloading insurance, inflation, copyright, and syariah laws in contemporary matters. The development of takhrij fiqh is dependent on the interaction of theory and practice in the existing field to produce solutions to contemporary problems. Keywords Problems, Takhrij Fikih, Contemporary Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan takhrij sebagai media untuk memahami kaidah umum yang ditetapkan oleh para imam yang dibangun di atas furu’ fikih dengan cara induksi dan menganalisis permasalahan khusus furu’ fiqhiyah, inilah yang dimaksudkan takhrij ushul atas furu’. 52 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Takhrij juga bermakna menyelesaikan perbedaan furu’ fiqhiyah dengan kaidah ushuliyah yang berasal dari para imam. Diharapkan dapat menemukan hukum yang tidak ada dalil syaranya dengan cara mengembalikannya kepada kaidah dan ushul. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan dengan pendekatan komparatif analisis deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa takhrij fikih juga digunakan untuk mengenal hukum yang berasal dari imam dalam masalah yang tidak ada nasnya dengan membandingkannya dengan permasalahan furu’ yang sama yang ada nashnya qiyas, atau membandingkannya dengan pemahaman nash-nash imam atau generalitasnya. Ini adalah takhrij furu’ atas furu’. Takhrij fikih ini dapat diterapkan pada permasalahan kontemporer seperti asuransi bongkar muat, inflasi, hak cipta, dan hukum-hukum syara dalam permasalahan kontemporer. Perkembangan takhrij fikih ini bergantung kepada interaksi teori dan praktik di lapangan yang ada sehingga membuahkan solusi bagi masalah kontemporer. Kata Kunci Permasalahan, Takhrij Fikih, , Kontemporer Pendahuluan Perubahan adalah sifat alam yang selalu ada, khususnya di bidang takhrij fikih yang memiliki banyak faedah yang harus kembali dilakukan telaah untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru baik yang dihadapi oleh umat Islam dalam keseharian secara individu, kelompok dan negara di berbagai bidang sosial budaya, politik, ekonomi dan keamanan. Yang terpenting dalam pembahasan ini adalah memunculkan bahwa Syariat Islam mempunyai solusi sejalan dengan perkembangan zaman bagi mukallaf dalam segala dimensi ruang dan waktu. Penyelesaian secara syar’i akan memberikan dampak positif terhadap kejiwaan seorang muslim yang mendapatkan penyelesaian yang Islami dan terbebas dari beban moril yang membelenggu jiwa seorang muslim. Syariat Islam mempunyai banyak instrumen dalam menyelesaikan banyak perkara-perkara kontemporer. Warisan Fiqh dan kaidah serta pola-pola ijtihad ulama masa lalu sangat membantu dalam memberikan solusi hukum yang dihadapi oleh umat Islam, yang diselaraskan dengan maqashid syari’ah dan dibantu oleh Qawaid al-Lughawiyah dalam memahami naskah-naskah dan teks-teks syar’i. Termasuk takhrij fikih yang merupakan bias dari Alquran, Hadits, Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishab, Sad a-Zair’ah, Qaulu as-Sahabi, dan Syar’u man Qablana. Usaha-usaha para ulama seperti Bahusain telah menampakkan hasil dengan lahirnya buku-buku tentang takhrij fikih. Pada abad ke 4 hijriyah. Ibnu Khaldun mengatakan, mazhab yang empat berdiri di atas ushul al-millah yang tidak terlepas dari khilafiyah bagi para pengikut yang berpegang kepada hukum-hukumnya yang berasal dari nusus syar’iyah dan ushul fiqh. Para ulama melakukan perdebatan dalam melakukan justifikasi terhadap mazhab mereka. Dalam perdebatan ini didapatkan dalil-dalil dan landasan pemikiran para imam dan pengikut mazhab masing-masing. Hal ini sangat penting untuk Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan 


 53 diketahui agar para pemikir dan ulama dapat mengetahui kaidah dan metode yang dilalui oleh para imam mazhab serta para pengikutnya untuk melakukan istinbath hukum. Para pengikut mazhab mentakhrij pendapat-pendapat imam-imam bereka beserta dalil-dalil yang digunakannya. Takhrij terhadap pendapat para imam telah nampak jelas dalam karya-karya Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf dari mazhab Hanafi, dan Abdurrahman bin Qasim, Ashub dan Sahnun. Tidak hanya sampai di situ para ulama Mazhab Syafiiy juga melakukan takhrij tersebut seperti ar-Rabi bin Sulaiman dan Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal, al-Mazuri dan para ulama mazhab Hanbali lainnya. Hasil pemikiran dari takhrij ini disusun oleh ad-Dabusi wafat 430 H yang bernama Nazar at-Tasis. Seabad setelah itu disusunlah buku yang terperinci yang berjudul Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul yang disusun oleh Syihabuddiin Mahmud bin Ahmad al-Zanjani as-Syafiiy wafat 656 H. Dengan mempelajari literatur ini secara komparatif penulis melakukan analisis konten dan menjelaskan keterkaitannya dengan permasalahan kontemporer. Sehingga pendapat imam mazhab masih dapat berlaku dalam menghadapi permasalahan kontemporer sesuai dengan kaidah mazhab. Pembahasan Sesuai dengan tata bahasa kaidah lughawi, kata takhrij adalah bentuk mashdar dari kata yang artinya adalah mengeluarkan, memisahkan dari bagian atau kelompok, arti lainnya adalah penghasilan yang mempunyai makna konotasi menghasilkan makna majazi dan hisi. Secara terminologi, menurut Ibn Taimiyah ra, takhrij adalah و mengalihkan hukum dalam masalah kepada permasalahan yang mempunyai kesamaan dalam beberapa aspek sehingga dapat disamakan hukumnya. Terminologi ini juga dinyatakan oleh al-Mardawi dan Ibn Badran. Ibn Farhun mereka menyatakan secara istilah, tentang takhrij adalah menghasilkan produk hukum suatu masalah dari permasalahan yang status hukumnya tertera dalam nash. al-Syekh Alawi al-Saqaf berpendapat, Ibnu Taiymiyah Ahmad Ibn Abdul Hiim, Al-Musawwidah, Muhaqqiq Muhammad Muhyi al-Din Abd al-Hamid Beirut Dar al-Kutub, 1987, h. 533. Syaikh Wali Allah al-Dahlawi Syaikh Wali Allah ad-Dahlawi, Al-Inshaf Fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf, Ditahqiq Oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah, vol. 2 Beirut, Lebanon Dar al-Kutub Ilmiyah, 1987, h. 6. Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran, al-Madkh ila Mazhab al-Imam Ahmad Kairo Maktabah Ibnu Taimiyah, 1977, h. 56. Ibnu Farhun al-Maliki Ibnu Farhun al-Maliki, Kasyf Al-Naqab al- Hajib Fi Mushthah Ibn al-Hajib, Ditahqiq Oleh Hamzah Abu Faris Dan Abd al-Salam al-Syarif Rabath Dar al-Gharb al-Islami, 1990, h. 56. 54 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 takhrij adalah aksi fuqaha’ mazhab menyamakan hukum dari pendapat imam mereka dengan satu bentuk permasalahan baru yang serupa. Definisi yang mirip juga dinyatakan oleh Syekh Muhammad Riyadh takhrij adalah seorang mujtahid mazhab melakukan telaah terhadap sebuah permasalahan yang tidak mempunyai nash lalu ia mengqiyaskannya kepada permasalahan mempunyai nash. Dapat dipahami dari beberapa terminologi di atas, seperti yang dipaparkan oleh Syekh Yaqub al-Ba Husain dalam kitab karyanya yang berjudul al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin,dapat ditangkap gambaran dari definisi-definis tersebut 1. Takhrij akan menghantarkan kepada ushul dan qa’idah yang dibangun para imam sebagai landasan yang mempunyai hubungan interaksi dengan hukum-hukum dalam masalah fikih yang dinukilkan dari mereka. 2. Secara umum, takhrij mengembalikan semua perbedaan fikih kepada qa’idah ushul. 3. Kadangkala takhrij sesuai dengan pemakaiannya di kalangan fuqaha’, yang berarti interprestasi nash yang menghasilkan hukum terbatas al-istinbath al-muqayyad, maksudnya adalah menjelaskan pendapat imam dalam masalah-masalah parsial yang tidak ada nashnya dan mengaitkannya dengan permasalahan yang mirip dengannya, atau dengan mengukurnya dengan menggunakan suatu kaidah tertentu dalam mazhab. 4. Adakalanya fuqaha’ mengembangkan makna takhrij yang mencakup makna penalaran illat al-ta’lil, atau memproyeksikan pendapat-pendapat yang dikutip dari para imam dan menjelaskan sumber pendapatnya dengan cara menggali illat hukum yang telah ditetapkan oleh imam sehingga dapat digunakan untuk melakukan interpretasi terhadap permasalahan yang baru. Dapat disimpulkan dari penggunaan istilah takhrij oleh para fuqaha’ dan ahli ushul fikih sebagai berikut 1. Mentakhrij ushul atas/dari furu’. Mentakhrij furu’ atas ushul dengan metode induksi dilakukan analisa untuk sampai kepada kesimpulan umum. Ini adalah metode Hanafiyah dan metode para ahli Ushul dalam menyusun karya-karya mereka. Contohnya menurut Malikiyah yang mentakhrij pendapat imam Malik yang mengatakan ―al-amr lil faur” perintah disegerakan, walaupun Alawi al-Saqaf Alawi al-Saqaf, Al-Fawaid al-Makiyah, I Riyadh Maktabah al-Rusyd, 1404, h. 77. Muhammad Riyadh Muhammad Riyadh, Ushul Al-Fatwa Wa al-Qadha’ Fi al-Mazhab al-Maliki Maroko Matbaah al-Najah, 1416, h. 577. Syaikh Yaqub al-Ba Husain Syaikh Yaqub al-Ba Husain, Al-Takhrij Inda al-Fuqoha’ Wa al-Ushuliyin Riyadh Maktabah al-Rusyd, 1414, h. 12-13. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan 


 55 imam tidak menjelaskan hal tersebut pendapat tersebut tetap dinisbahkan kepada mazhabnya karena kaidah yang digunakan adalah kaidah yang disepakati oleh Imam, maka konsekuensinya naik haji adalah perkara yang harus disegerakan. 2. Takhrij Furu’ ala al-Ushul. Pendapat yang ditakhrij dari nash Imam Mazhab, berdasarkan kaidah dan illat-illat yang dipakai oleh para imam serta berusaha memecahkan atau memperkecil ruang lingkup khilafiyah dan dapat menemukan keabsahannya. 3. Takhrij Furu atas Furu’, hal ini dilakukan oleh pengikut para imam, yang dinukilkan darinya permasalahan yang terbatas yang kadangkala terdapat permasalahan yang belum dibahas, kemudian mereka mentakhrij furu’ yang lain. Sebagai contoh ditakhrijkan dari Imam Ahmad bahwa tartib berurutan dalam berwudhu tidak wajib, sedangkan imam Ahmad tidak pernah mengatakan hal tersebut akan tetapi para pengikutnya mentakhrij dengan cara qiyas. Mereka menukilkan dari Imam Ahmad bahwa berurutan dalam berkumur-kumur dan istinsaq tidak wajib maka mereka menqiaskannya terhadap seluruh anggota wudhu lainnya seperti tangan dan kaki. 4. Takhrij al-uhsul ala ushul, mentakhrij Ushul Fiqhiyah atas Ushuluddin dan yang kedua adalah mentakhrij kaidah ushuhuliyah dari kaidah ushuluddin. Sebagai contoh Syiah Rafidah. Mereka berpendapat bahwa para imam ma’sum terbebas dari dosa, maka segala perkataannya dapat dipercaya. Mereka tidak menjadikan hadits ahad sebagai landasan dalam aqidah karena mereka lebih mengemukakan akal dari naqal. Pembagian Takhrij Menurut Ulama Kontemporer Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya takhrij dapat dibagi tiga, yaitu melakukan takhrij ushul dari furu’, takhrij furu atas ushul dan takhrij furu dari furu. Dr. Saad al-Syatari menambahkan jenis yang keempat dalam takhrij, yaitu melakukan takhrij ushul atas ushul. Hal ini disebabkan sebagian kaidah ushul dilandaskan pada kaidah ushul yang lainnya yang mengikuti dan menjadi cabangnya. Pembagiannya adalah 1. Mentakhrij ushul dari furu’. Di antara bentuk takhrij adalah adanya interaksi antara ushul dan kaidah yang berasal dari para imam secara induktif dan mengikuti cabang-cabang fiqh yang diriwayatkan dari mereka, menjelaskan illat-illat yang terkait dengannya. Sebagai contoh dari takhrij ini adalah apa yang dikatakan oleh al-Imam Abu Yala al-Farra ra. dalam kitabnya yang berjudul al-Uddah yang dianggap Saad al-Syatari Saad al-Syatari, Al-Takhrij Baina al-Ushul Wa al-Furu Kairo Dar al-Hadits, 1989, h. 144–145. 56 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 sebagai acuan kitab-kitab ushul dalam mazhab Hanbaliyah. Imam Abu Yala sangat terdorong dalam menjelaskan pendapat Imam Ahmad tentang permasalahan ushul dan mengungkapkannya dari riwayat-riwayat yang diterima dari sang imam, lalu mengaitkan pendapat itu kepada imam Ahmad karena ia mentakhrij sesuai dengan kaidah sang imam. Bentuk takhrij ini memiliki beberapa faedah yang dapat dipetik oleh peneliti masalah kontemporer, diantaranya a. Adanya hubungan interaksi ilmu ini dengan kaidah-kaidah para imam, membuat para mujtahid yang menghadapi permasalahan kontemporer terbantu dalam mentarjih pendapat-pendapat dan memilih yang rajih atau yang terkuat berdasarkan kaidah tersebut. b. Ilmu ini dapat dijadikan alat untuk membantu mengetahui korelasi yang terdapat antara furu fiqh illat dapat diteliti dan dijelaskan dan diselaraskan dengan hukum yang ada pada furu, oleh karena itu terciptalah pemahaman yang konkret serta dapat menyesuaikan furu yang diriwayatkan dari para imam kepada ushulnya. c. Dengan adanya ilmu ini seorang alim dapat menarik kesimpulan dengan mentakhrij masalah-masalah dan cabang-cabang yang tidak mempunyai nashnya dari kejadian dan kasus terbaru sejalan dengan kaidah yang ditakhrij atau menemukan pendapat yang lebih muktamad. d. Takhrij ini memperkenalkan kepada mujtahid sumber dan rujukan ulama dalam istinbath dan ushul ijtihadnya yang membantunya dalam memahami sebab-sebab perbedaan pendapat Fuqoha. 2. Mentakhrij furu’ dari ushul Seperti yang telah di isyaratkan munculnya ilmu takhrij fikih sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri pada pertengahan abad ke empat Hijriyah. Sejalan dengan maraknya perdebatan antara para pengikut mazhab fikih yang didorong oleh keinginan yang kuat untuk mencari landasan dari pendapat yang dikeluarkan oleh para imam mereka. Landasan atau ushul tersebut dijadikan batu loncatan untuk menetapkan kebenaran furu’ yang dibangun di atas dasar ilmiah yang benar. Penyebab pertikaian pendapat tersebut dapat membantu untuk mencari keterkaitan antara furu’ fikih yang beragam dan antara furu’ dan ushul yang telah dijadikan dasar dari furu’ itu sendiri. Hal ini dapat memperkuat kemampuan fikih dan pemahaman serta kemampuan melakukan Syekh Usman ibn Muhammad al-Ahdhari Syausyan telah mengarang sebuah kitab sistematis untuk memunculkan ilmu ini, yang dia beri nama ―Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul‖, sebuah abstarksi risalah lengkap yang diajukannya ke Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad ibn Saud, untuk mendapatkan gelar magister tahun 1415 H. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan 


 57 istinbath hukum. Furu dapat dirunut kembali secara sistematis kepada usulnya. Permasalahan kontemporer dapat dianalisis dengan benar setelah ushul dari para imam dapat di tinjau ulang dengan benar Imam al-Zanjani berkata ―permasalahan furu’ akan dapat dianalisis dengan jelas yang mana semuanya berasal dari ushul yang benar, proses istinbath tidak akan dapat dipahami apabila hubungan antara hukum furu’ dan ushul-nya tidak bisa dipindai dengan benar dan jelas. Seorang alim tidak memiliki peluang atau tidak mungkin sama sekali menemukan cabangnya. Sebab masalah-masalah furu’ berdasarkan ushul mempunyai cabang yang sangat banyak dan setelah sampai kepadanya ushul yang diketahui berdasarkan penerapannya terhadap kasus-kaasus di lapangan secara beraturan. Barang siapa yang tidak mengetahui ushul dan kasus-kasusnya maka ia tidak akan mendapatkan Yakub al-Ba Husain mendefinisikan takhrij macam ini sebagai ―ilmu yang membahas tentang illat-illat atau sumber hukum syara untuk mengembalikan furu’ kepadanya sebagai penjelasan sebab-sebab pertikaian pendapat atau untuk menjelaskan hukum yang tidak ada nash dalil/keterangan dari para imam dengan memasukkannya furu’/perkara ke dalam kaidah dan ushul mereka‖. Sehingga pendapat tersebut atau hukumnya bisa dinisbahkan kepada mazhab dan imam. Usman ibn Muhammad al-Ahdhari bin Syausyan memberikan definisi ―Ilmu yang menjelaskan penerapan kaidah ushul dalam mengistinbathkan hukum syara yang praktis dari dalil-dalil yang tafsili terperinci‖. Ilmu takhrij furu’ di atas ushul mencakup sebagian penelitian dan masalah-masalah yang tidak keluar dari hakikat ilmu fiqh dan ushul serta bentuk korelasi antara keduanya, maka diantara masalah yang tercakup dalam ilmu ini antara lain a. Kaidah yang diperdebatkan keabsahannya kesahihan strukturnya dan legalitas pemakaian kaidah tersebut dalam penetapan hukum furu’. b. Cara mentakhrij dan menistinbathkan hukum-hukum syara dari dalil-dalilnya, terutama dari dalil yang diperselisihkan oleh para imam mazhab. c. Persyaratan bagi seorang mukharij yang mentakhrij nushus para imam dan kaidah-kaidah mereka d. Penyebab iktilaf para fuqoha’ e. Pemaparan yang berhubungan dengan para fuqaha’ yang mentakhrij hukum memakai kaidah para imam beserta persyaratan yang wajib dipenuhi. Sulaiman Majid Sulaiman Majid, Takhrij Furu’ Ala al-Ushul Kairo Maktabah Wafa, Sulaiman Majid, h. 167–68. 58 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 f. Penjelasan tentang hukum dan furu’ fikih dalam tinjauan pengungkapan hubungan antara keduanya dan menyelaraskannya dengan ushul imam atau ushul orang-orang yang mentakhrij yang telah menisbahkannya kepada imam mereka. Faedah yang didapatkan adalah mengenal sumber rujukan para imam dalam menghasilkan hukum sebuah perkara dan juga mengenal penyebab terjadinya perbedaan pendapat diantara mereka dalam kasus yang sama dan hukum yang berbeda. Buah dari ilmu ini adalah mentakhrij pendapat para imam berdasarkan kaidah dan ushul yang tidak terdapat dalamnya nash. Takhrij tidak akan bisa dilakukan tanpa mengetahui sumbernya yaitu naskah-naskah yang berisikan teks dari para imam serta kaidah yang digunakan oleh para imam itu sendiri dalam memunculkan sebuah hukum isthinbat hukum. Hal ini akan sangat bermanfaat dalam istinbath hukum kontemporer diantaranya a. Ilmu menambah penguasaan terhadap fikih dan melatih pelajar dalam mengistinbatkan, mentarjih dan mengembangkan permasalahan yang disesuaikan dengan dalil-dalil yang didapatkannya. b. Ilmu ini memungkinkan seorang faqih memahami secara mendalam apa yang di pelajarinya dan ditelitinya dalam kitab fikih. c. Ilmu ini menghasilkan ilmu ushul dari sisi teoritisnya yang didapatkan dari lapangan secara aplikatif praktis sebagai buah yang muncul dari kaidah-kaidah ushul bahkan juga kaidah-kaidah fikih. d. Ilmu ini dapat sebagai acuan peneliti dalam menghadapi permasalahan kontemporer dalam memutuskan perkara syari. Hasil keputusan hukum dalam menghadapi berbagai perkara dapat saja berbeda yang bergantung kepada metode istinbath dan kasus yang dihadapi oleh para fuqaha’ dalam furu’ yang mereka istinbathkan. Hal ini akan menghasilkan hukum-hukum fikih yang beragam. e. Diantara manfaat takhrij adalah menyokong pendapat mujtahid dalam memunculkan hukum permasalahan kontemporer yang berkesinambungan dan akan memperkaya metode yang dipakai oleh para fuqaha’. 3. Mentakhrij furu’ atas furu’ Hukum fikih dibangun diatas kaidah dan ushul yang berbeda dan unsur-unsur lain seperti kaidah nahwu dan lughawiyah serta ketetapan-ketetapan yang ada di dalamnya seperti yang dilakukan oleh al-Asnawi 772 H dalam bukunya yang berjudul al-Kawkab ad-Durri fi Takhrij al-Furu’ al-Fiqhiyah ‗ala Masail an-Nahwiyah. Pendapat para imam dinukilkan oleh para pengikutnya yang menghasilkan cabang- cabang fikih furu’, ijtihad dan fatwa yang terkait dengan hukum-hukum peristiwa yang belum ditemukan jawabannya. Permasalahan yang Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan 


 59 terkait dengan mu’amalah dan ibadah terus berkembang. Sedangkan nash-nash yang ada terbatas sehingga dengan metode takhrij ini diharapkan dapat menjawab tantangan zaman dan sebagai pembutkian bahwa syariat Islam sesuai dengan perubahan zaman dan tempat dalam berbagai dimensi kehidupan. Dr. Yaqub al-Ba Husain mendefinisikan takhrij istilah ―Ilmu yang menghasilkan pengetahuan tentang pendapat para imam dalam masalah- masalah furu’yang tidak ada nashnya dari mereka dengan cara menghubungkannya dengan hukum yang serupa ketika keduanya memiliki illat hukum yang sama. Bisa juga dengan menselarakannya dalam keumuman pernyataan atau pemahaman keduanya, atau mengambilnya dari perbuatannya atau taqrirnya taqrir sang imam.” Definisi lainnya adalah ― Ilmu dalam memahami pendapat para imam mazhab dalam permasalahan yang baru yang telah terjadi dengan memperluas cakupan hukumnya dalam perkara yang serupa dan illat yang sama dari berbagai cabang fiqh mereka yang sudah mu’tamad terpercaya .” Kaidah-Kaidah Takhrij1. Takhrij tidak dapat dilakukan apabila nash syari didapatkan secara nyata yang terdiri dari nash Alquran, ini adalah kaidah yang penting dalam melakukan takhrij nash-nash mazhab yang mendahulukan sumber yang mu’tabar dan menghabiskan dahulu dalam menggali sumber utama yaitu Alquran, al-Hadits serta ijma. Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi ―Siapa yang ingin mentakhrij maka ia tidak boleh menyalahi sunnah atau mengeluarkan pendapat pada masalah yang ada hadisnya...juga tidak boleh menolak hadis atau atsar yang sesuai dengan pendapat suatu kaum karena adanya kaidah yang dia takhrij bersama pengikutnya.”2. Seorang pentakhrij hendaknya menguasai secara menyeluruh kaidah-kaidah dan furu’ mazhab. Takhrij yang dilakukan oleh seorang faqih tidak sah apabila ia tidak mengetahui kaidah dan ushul Ibn Shalah ‖Mujtahid dalam mazhab al-Syafi’i misalnya, artinya mujtahid takhrij, harus menguasai kaidah-kaidah mazhabnya yang dipakai dalam praktek qiyas dan dan tatacara penerapannya.” Syaikh Yaqub al-Ba Husain, Al-Takhrij Inda al-Fuqoha’ Wa al-Ushuliyin, h. 178–179. Ibnu Amir al-Haj Ibnu Amir wa al-Haj, At-Taqrir Wa Tahbir Kairo Maktabah an-Nasr, 2014, h. 155–57. Abdullatif Hidayah Abdul Latif Hidayah, Nawazil Fiqhiyah Fi Al-Amal al-Qadha’i al-Maghribi Rabath Maktabah Rabath, 2017, h. 319. Syaikh Wali Allah ad-Dahlawi, al-Inshaf Fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf, Ditahqiq Oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah, 2 h. 62–63. Ibnu Taimiyah Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. 30 Kairo Dar al-Hadits, 1988, h. 257. 60 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Imam al-Qarafi berkata ―Seorang mufti tidak boleh mentakhrij suatu pendapat yang tidak ada nashnya dari pendapat yang ada nashnya kecuali ia sudah sangat menguasai kaidah-kaidah mazhabnya dan kaidah ijma’....” 3. Seorang mukharij haruslah menguasai ilmu ushul fikih secara mendalam dan telah terbiasa mempraktikkan qiyas sehingga dapat menghasilkan hukum yang benar dan sesuai dengan mazhab. Ia harus mengetahui ushul fikih secara umum dan qiyas khususnya. Kaidah ini mendorong Imam al-Qarafi melarang mukharij berfatwa bila ia tidak dibekali ushul fikih. Ia berkata ―orang yang tidak menguasai ushul fikih maka ia tidak diperbolehkan berfatwa, karena pastilah ia tidak mengetahui kaidah-kaidah furu’, mukhasas, muqayad menurut perbedaan bentuk-bentuknya...‖. Ia juga berkata ‖ Hendaklah Orang yang tidak menguasai ushul fiqh tidak mentakhrij furu’ atau permasalahan yang berasal dari ushul mazhabnya serta berbagai hal yang dinukilkan darinya, walaupun ia banyak menghafal nash-nash syariah dari kitab dan sunnah serta perkataan, pendapat dan hukum yang berasal dari sahabat. Begitu juga orang yang tidak mengetahui ushul fiqh, haram atasnya melakukan qiyas dan mentakhrij dari masalah yang ada nashnya, bahkan haram baginya melakukan istinbath hukum dari nash-nash syariah karena menggali furu’ diperlukan bekal ushul fiqh yang dalam, baik ia seorang mujtahid dalam tingkat tertentu maupun muqalid. 4. Mukharrij harus mempunyai kemampuan untuk mendapatkan sumber yang terkait antara furu’ dengan ushul mazhabnya. Hal yang senada dikatakan oleh al-Amidi ―pendapat yang terpercaya adalah seorang mujtiahid mazhab boleh menggali atau memunculkan pendapat mujtahid mutlak yang diikutinya, itulah bedanya ia dengan orang yang awam. 5. Mukharrij menguasai faktor-faktor eksternal terhadap hukum dan furu’-furu’ fikih diantara cabang-cabang. Ini kaidah penting juga dalam praktik takhrij, dimana seorang pentakhrij mewaspadai adanya faktor-faktor yang merusak keabsahan takhrij atau yang akan merusak suatu hukum dalam bentuk nasakh, takhshis, dan taqyid, atau menafikan tujuan takhrij dan menyempurnakan pengetahuan faktor-faktor tersebut hendaklah dengan merujuk pembahasan ushul fikih. 6. Seorang alim hendaknya dapat memahami perbedaan furu’ di antara cabang furu’ peristiwa atau permasalahan yang terjadi dengan furu’ yang akan di takhrij baik dalam hukum maupun maqhasid-nya. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah ―persyaratan takhrij adalah antara kedua permasalahan harus sama karakternya dan tidak ada pembeda diantara keduanya. Takhrij yang dilakukan terhadap pendapat para imam mazhab haruslah dari sumber yang diakui oleh para ulama‖. Ada beberapa sumber pendapat imam-imam mazhab antara lain 1. Nash imam dan yang semisalnya, ada dua cara untuk mengetahuinya a. Dari buku karya para imam yang dinisbahkan kepada mereka dan segala bentuk karya mereka yang diakui secara mutawatir dan shahih, seperti al- Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan 


 61 Muwattho yang disusun oleh Imam Malik dan al-Umm karya Imam al-Syafii, dan yang lainnya. b. Kutipan pendapat mereka oleh para pengikutnya dalam berbagai masalah yang berbeda. 2. Pemahaman nash imam, yaitu mentakhrij berdasarkan pemahaman perkataannya dalam dilalah lafaz yang wadh’i atau iltizami. 3. Kebiasaan dan perbuatan yang dilakukan oleh para imam, perbuatan tersebut terkait dengan hukum, diperbolehkan, diwajibkan, dimakruhkan dan yang dilarang. 4. Persetujuan Taqrir Imam, yaitu tidak adanya sanggahan dari mujtahid terhadap apa yang dilakukan dalam pengetahuannya atau langsung dihadapannya seperti fatwa yang berasal dari orang lain tentang berbagai masalah dan hal ini dibenarkan oleh sang imam. 5. Hadis mutawattir dan sahih. Ilmu Takhrij al-Furu’ atas al-Ushul, berasal dari empat ilmu yaitu1. Ilmu Ushul al-Fiqh sebagai dasar utama 2. Ilmu Bahasa Arab yang terkait dengan pembahasan Ushul Fiqh seperti dilalah petunjuk lafaz dan qawaid al-Lughawiah 3. Ilmu Fikih, dengan menganalisis furu fikih akan mendapatkan kesimpulan yang dipandu oleh kaidah ushul fiqh mazhabnya. 4. Ilmu al-Khilaf, karena timbulnya ilmu takhrij didasarkan kepada keinginan mengikuti para imam dan menerangkan kebenaran furu fiqh mazhab mereka yang berasal dari kaidah dan ushul yang mutabar dan mereka konsekuen kaidah tersebut. Secara ringkas proses penetapan hukum dalam sebuah permasalahan dapat dilihat dari penjelasan berikut Seorang faqih apabila berijtihad dalam mentakhrij, perkataan para imam mazhab dan telah banyak pengalamannya dalam jenis ijtihad yang seperti ini, maka dia akan lebih mampu dalam melakukan istinbath hukum dalam perkara hukum kontemporer yang didapatkannya. Ia tentunya lebih mengetahui pendapat para Imam yang lebih kuat dan lebih rajih. Maka ia berpegang kepada pendapat yang rajih berdasarkan sumbernya dan dalilnya. Ia akan mudah dalam mengeluarkan fatwa dan mendapatkan jalan pintas walaupun ia belum lagi Jamaluddin Mahmud Jamaluddin Mahmud, Ijtihad Jama’i Fi Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah Abu Dhabi Jamiah Imarat, h. 392–395. Seorang mujtahid mazhab menganalisis masalah yang tidak ada nashnya lalu mengqiyaskannya kepada masalah yang ada nashnya dalam suatu mazhab 62 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 mencapai derajat mujtahid mustaqil. Imam bin Shalah mengatakan" dibolehkan bagi mukharrij, untuk berfatwa apabila tidak ada hukum yang ada nashnya tentang perkara tersebut dari Imamnya, yang telah ditakhrij menurut mazhabnya. Ini adalah perbuatan yang benar. Daripada menunggu waktu yang lama. Seorang mujtahid dalam mazhab as-Syafi'i misalnya, menguasai qaidah-qaidah mazhabnya, terlatih dalam qiyas dan standar prosedur , ia lebih mampu melakukan penyamaan perkara yang ada nasnya dengan yang tidak ada nashnya sejalan dengan qaidah mazhab yang dianutnya. Sebagaimana kedudukan mujtahid mustaqil dalam melakukan proses qiyas menyamakan perkara yang mempunyai nash dengan yang tidak karena ada persamaanan dalam illat. Apabila seorang mujtahid mendapatkan qaidah-qaidah dan ketetapan yang sudah baku yang berasal dari para imam dalam mazhabnya sedangkan ia belum mendapatkannya melalui dalil-dalil syara' secara tersendiri, kemudian ia melakukan takhrij berdasarkan kaidah yang berasal dari imamnya. Berarti ia berpegang kepada perkataan dan kaidah imam bukan sebagai seorang yang berijtihad bebas. Melakukan takhrij lebih mudah dari pada melakukan istinbath hukum bagi seorang mujtahid mustaqil. Berdasarkan ini kebanyakan para ahli ushul membolehkan seorang Mukharij, berfatwa merupakan jenis dari ijtihad yang diakui . Tidak ada salahnya kita melihat bagaimana seorang melakukan takhrij, serta menerangkan cara dan metode yang ditempuhnya dalam memecahkan perkara-perkara kontemporer yang yang paling penting dalam takhrij adalah qiyas, sedangkan penukilan, sedangkan menukilkan dan takhrij serta mengikuti mazhab imam, ia merupakan bagian atau cabang dari metode qiyas. Metode ini sedikit digunakan dalam melakukan takhrij terhadap perkataan para imam melalui qiyas atas perkataan tersebut. Oleh karena itu kita mencukupkan saja penjelasan metode ini yang merupakan bagian dari takhrij sendiri dan tidak membahas metode-metode Takhrij dengan Qiyas Jumhur fuqaha beranggapan metode ini adalah cara paling penting untuk dijadikan media dalam mengenal hukum syara' yang tidak ada nasnya sama sekali. Mereka menganggap metode ini adalah penyingkap hukum yang tidak ada lafaz/dalil apapun yang membahasnya atau menetapkannya. Keterangan tentang umum dan khususnya hukum dalam permasalahan pun tidak ada, maka dalam keadaan seperti ini qiyas sangat diperlukan. Hukum takhrij beragam sesuai Abdu Rabb an-Nabi Abdu Rabb an-Nabi, Dustur Al-Ulama’, vol. 2 Beirut, Lebanon Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010, Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Manhaj Istikhraj Al-Ahkam al-Fiqhiyah Li an-Nawazil al-Mu’ashirah, vol. 2 Makkah Universitas Umm al-Quta, h. 556. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan 


 63 dengan jenis qiyas yang digunakan dalam proses takhrij tersebut. Kita akan membahas tiga jenis, yang terpenting adalah1. Apa yang telah diputuskan bahwa tidak terdapat perbedaan Jumhur Ushuli berpendapat apabila telah diputuskan bahwa tidak ada perbedaan antara masalah yang tidak ada nashnya dengan permasalahan yang sama yang dalamnya terdapat pendapat imam. Dalam hal ini boleh menisbahkan hukumnya kepada pendapat imam, dan hukum tersebut dikaitkan dengan mazhabnya. Akan tetapi hendaklah seorang mujtahid mengkonfirmasi dengan pasti bahwa permasalahan yang akan diputuskan hukumnya tidak ada perbedaan sama sekali dengan hukum yang ada pendapat imam dalamnya. Dengan kata lain adanya persamaan yang sempurna dalam kedua permasalahan tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Husain al-Basri, Imam Haramain al-Juwaini, Abu Ishaq as-Syirazi, Ibnu Qudamah, at-Thufi, dan para ahli Ushul lainnya. 2. Jumhur Ushuli membolehkan untuk mentakhrij illat yang ada dalam Nash Imam, atau apa yang diisyaratkan oleh imam itu sendiri, pendapat ini sesuai dengan Hasan bin Hamid, dan Abu Husain al-Basri, Abu al-Khatab, Ibnu Qudamah, Ibn Taimiyah. Karena barangsiapa yang membolehkan takhrij secara mutlak maka ia akan membolehkan juga takhrij atas nash-nash yang illatnya telah diisyaratkan oleh imam. Hal inilah yang menjadi prioritas utama karena telah ada petunjuk langsung dari sang imam. Sebagian fuqaha yang membolehkan takhrij seperti ini, akan tetapi mereka tidak membolehkan untuk menisbahkan hasilnya kepada pendapat imam secara langsung. Walaupun begitu mereka masih menganjurkan untuk mengatakan, ―hal ini sesuai dengan ketentuan mazhabnya". Sebagaimana Ibnu Abidin Rahimahullah membolehkan hal tersebut. Sedangkan Imam Abu Ishaq as-Syirazi Rahumahullah, membantah kebenaran pendapat itu, ia mengatakan ―perkataan seorang manusia haruslah ada buktinya, atau ada sesuatu bukti yang sama kedudukannya dengan nash sebagai bukti perkataannya. Kalau tidak ada dalil yang membuktikannya maka tidaklah sah mengatakan itu pendapatnya. Oleh karena itu Imam as-Syafi'iy tidak menisbahkan pendapat apapun kepada orang yang diam tidak menyatakan pendapat.3. Illat yang didapatkan melalui cara isthinbat Melakukan takhrij atas mazhab imam dengan qiyas yang diistinbatkan dengan illat kelihatannya lebih rumit daripada cara terdahulu, ulama pun berbeda pendapat tentang kebolehan melakukan cara ini. Yaitu Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Jilid 2 h. 557–58. Hasan bin Hamid adalah Imam Mazhab Hambali, guru Qadi Abu Ya'la, mendengar banyak riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal melalui karya-karyanya, al-Jami' fi al-Mazhab, Ktiab fi Hushul al-Fiqh, dan dalam Ushuluddin,. Ia wafat pada tahun 403 H. Ibnu Abidin Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar Ala Dur al-Mukhtar Beirut, Lebanon Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1990, h. 161. 64 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 a. Pendapat pertama mengatakan tidak boleh menisbahkan pendapat hasil istinbat illat kepada imam. Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Bakar Khilal Rahimahullah, Abu Bakar Abd al-Aziz al-Baghwi yang dikenal sebagai Hamba Khilal Rahimahullah, dan sebagian para Ulama Hanbali. Pendapat ini adalah zahir dari perkataan Abu Husain al-Basri, Abu Ishaq as-Syirazi. b. Sesuatu yang diqiyaskan terhadap perkataan imam dianggap mazhabnya adalah sah untuk menisbahkan hasil istinbat qiyas tersebut kepadanya. Dr. Al-Bahusain telah menasabkan kepada jumhur ulama, yang juga merupakan ikhtiar Abu Bakar al-Atsram, al-Kharqi, sedangkan Imam Juwaini dan Ibnu Shalah cenderung kepada pendapat tersebut. Orang-orang yang berpendapat seperti itu dengan berbagai dalil dan alasan; 1 Qiyas bukanlah mantuq makna yang diambil dari lafaz/operatif dan tidak dinisbahkan kepada seseorang sesuatu yang tidak pernah dikatakannya atau dilafazkannya. Dalam kaidah dikatakan, tidak dinisbahkan kepada orang yang diam pendapat apapun. 2 Penisbahan terhadap mazhab imam dengan jalan qiyas tidak dapat menyatukan memberikan batasan dengan pasti 3 Kemiripan yang sempurna terhadap kedua permasalahan, boleh jadi tak terlihat pada waktu itu bagi sebagian mujtahid, akan tetapi boleh jadi bagi sebagian mujthahid lagi dapat menemukan perbedaan antara kedua masalah tersebut. Dalil Kelompok yang tidak setuju dengan pendapat ini telah dibahas sebagai berikut a. Mereka mengatakan qiyas bukanlah jenis dari perkataan, dan tidak dinisbahkan perkataan kepada orang yang diam. Hal ini tidak sama dengan illat yang dikeluarkan dari nash. Karena penunjukan illat dalam sebuah nash berkedudukan sama dengan penunjukan nash terhadap hukum penentuan hukum dengan menggunakan nash yang jelas. Hal ini tidak sama dengan diamnya seseorang dalam sebuah hukum yang harus diputuskan, bahkan penunjukan illat dalam sebuah nash sama kedudukannya dengan mantuq makna tersurat/tertera pada nash dengan jelas/operatif. b. Pendapat orang-orang yang tidak setuju dalam penetapan mazhab imam dengan jalan qiyas tidak punya batasan yang pasti , membutuhkan penjelasan lagi. Sebuah qiyas haruslah mengumpulkan dan membatasi illatnya, kalau tidak terdapat pengumpulan dan pembatasan mana mungkin qiyas bisa dilakukan. c. Pendapat yang mengatakan terdapat perbedaan antara permasalahan yang ada nasnya dengan permasalahan yang akan ditakhrij disesuaikan karena ada persamaan illat dalam istinbat illat, akan tetapi para ulama telah memberikan persyaratan tentang sahnya takhrij yaitu adanya persamaan yang sempurna dan tidak ada perbedaan sama sekali. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan 


 65 Adapun dalil dari pendapat kedua a. Qiyas yang dikeluarkan terhadap nash-nash imam diqiyaskan pada mujtahid mutlaq dalam mengisitnbatkan hukum syara' dengan qiyas terhadap nash-nash syara' perbandingan qiyas dengan nash-nash syara' dengan qiyas terhadap nash-nash imam. Bahkan seorang mukharij lebih mampu melakukan penyamaan dengan ushul mazhab dari seorang mujtahid dalam melakukan qiyas dengan menggunakan dasar-dasar syari'at. Karena mazhab-mazhab telah membentangkan dan mengatur sistim yang harus dilalui dalam proses qiyas serta faktor-faktor penyebabnya. Mudah bagi mukhrij melakukannya apa yang tidak mudah melakukannya bagi mujtahid mutlak. b. Buku-buku yang disusun fuqaha berdiri diatas takhrij, karya-karya para fuqaha telah menjadi saksi terhadap takhrij. c. Kalau tidak dilakukan qiyas terhadap perkataan para imam maka banyak dari permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi menjadi terbengkalai. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Bantahan terhadap kelompok yang membolehkana. Menjadikan nash-nash imam sederajat dengan nash-nash syara' dan menyamakan mujtahid dengan Syari' Pencipta Hukum, tidak bisa diterima secara mutlak. Karena syari' dijadikan ibadah dengan hanya membaca nash-nashnya. Dijadikan ibadah dalam melakukan istinbat hukum apabila dalam nash-nashnya didapatkan illatnya dalam suatu permasalahan. Pada permasalahan apapun apabila didapatkan persamaan illat kecuali telah didapatkan dalil yang menghususkannya untuk tidak dapat dijadikan dasar sebuah hukum. Perkara ini tidak ada atau tidak terealisasi dalam jiwa mujtahid yang hanya manusia biasa. b. Pekerjaan para fuqaha yang seperti ini, merupakan bagian dari takhrij yang memberikan kekuatan apapun terhadap dalil. Pertikaian antara para ulama terjadi kebanyakan disebabkan perbedaan persepsi dalam kebenaran takhrij yang dilakukan ketika dijadikan dalil atau dipakai untuk menetapkan sebuah hukum dalam mazhab c. Ketiadaan hukum bagi peristiwa-peristiwa kontemporer yang terjadi tidak selalu dapat dipecahkan dengan takhrij atas illat-illat dan perkataan para imam dan mengistinbatkan hukum dari perkataan serta pendapat imam tersebut. Pemecahannya adalah kembali kepada sumber asli dengan berijtihad dari dalil dalil dan qaidah-qaidah secara langsung, dengan melakukan persiapan dan pengadaan orang sanggup melakukan ijtihad tersebut. al-Warqiyah Abd ar-Raziq, Ad-Dhawabit at-Tanzili Beirut, Lebanon Dar al-Marifah, 2013, h. 25–29. Ibnu Nujaim Ibnu Nujaim, Al-Bahr Raiq Syarah Kanz Ad-Daqaiq Beirut, Lebanon Dar al-Kitab al-Islami, 2015, h. 216. 66 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Tarjih Telah dapat dilihat apa yang telah dipaparkan, berbagai dalil dari pihak yang melarang dan membolehkan takhrij. Pada dasarnya ijtihad dan istinbat mempergunakan dalil syara'. Pembolehan takhrij atas perkataan para imam merupakan pengecualian khusus yang diperbolehkan oleh para mujtahid mazhab-mazhab. Hal ini disebabkan sedikitnya mujtahid mutlak atau mustaqil, melemahlah kemampuan untuk beristinbat dari dalil syara' secara langsung. Takhrij ini diperbolehkan karena banyaknya peristiwa-peristiwa yang membutuhkan kepastian hukum yang terjadi, yang sulit untuk dicari pemecahannya dari dalil-dalil syara' secara langsung. Atas dasar ini takhrij diperbolehkan, akan tetapi haruslah dilakukan dengan hati-hati, dalam melakukan takhrij atas perkataan para imam. Hendaklah perkataan imam ini mempunyai dasar syara' pula guna mendukung kebenarannya. Setidaknya terdapat illat yang jelas yang langsung dinyatakan oleh sang imam dalam memutuskan suatu Takhrij fikih terhadap beberapa kasus kontemporera. Asuransi Koperasi Cooperative Insurance dan Asurnsi Perdagangan Asuransi ini adalah asuransi yang beranggotakan sekelompok orang yang berpotensi menanggung risiko yang sama dan anggotanya membayar jumlah tertentu untuk mendapatkan uang santunan, apabila dikemudian hari salah seorang atau beberapa orang dari anggota asuransi koperasi ini menanggung risiko yang telah diprediksikan. Apabila iuran anggota kurang dari tanggungan musibah atau kerugian yang dibayarkan maka para anggota menambah iuran mereka akan tetapi kalau risiko yang ditanggung menimbulkan biaya yang lebih kecil daripada yang dibayarkan oleh anggota asuransi maka sisa uang mereka dikembalikan. Para anggota asuransi dalam hal ini tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan akan tetapi untuk meringankan musibah. Asuransi ini sangat jarang dipraktikkan pada zaman sekarang. Sedangkan asuransi perdagangan telah dibahas oleh Ibnu Abidin tentang pengamanan laut asuransi pelayaran dan keharaman asuransi yang sudah lama dilakukan oleh Umat Islam. Ahli Fiqh kontemporer berbeda dalam menetapkan hukumnya, karena berbeda dasar takhrij mereka dan tata cara penanganan masalah baru ini, diantara mereka ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang menghalalkan dan ada juga yang menghalakan beberapa jenis asuransi. Yang mengharamkan berdasarkan takhrij asuransi diqiyaskan kepada perjudian yang bermain dengan nasib manusia dan benda yang penuh dengan spekulasi tinggi. Ditambah lagi asuransi tersebut termasuk gharar atau transaksi gharar sebab berupa akad spekulatif yang juga mengandung riba. Sebagian lagi membolehkan seperti Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Manhaj Istikhraj Al-Ahkam al-Fiqhiyah Li an-Nawazil al-Mu’ashirah, Jilid 2 h. 116. Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Jilid 2 h. 562–64. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan 


 67 Abdul Wahab Khalaf, Ali Khafif dan Syaikh Mustafa Zarqa. Mereka menisbahkan asuransi perdagangan kepada maslahah al-mursalah yang tidak ada nash yang mengharamkan asuransi tersebut. Asuransi juga dapat diqiyaskan kepada aqilah keluarga penanggung diyat yang menanggung diyat pembunuhan tidak sengaja atau semi sengaja. Aqilah ini yang membayarkan diyat pelaku pembunuhan tersebut dan mirip dengan asuransi yang juga sama dengan akad perwalian tersebut. Sedangkan sebagian lagi melarang asuransi jiwa dan membolehkan asuransi benda. b. Hak Kekayaan Intelektual Karya ilmiah, penerbitan dan distribusi/penjualan Hak-hak ini belum pernah ada hukumnya di kalangan fuqoha klasik. Pada masa lalu pengulangan hasil karya bukan sebuah larangan, akan tetapi setelah munculnya mesin cetak di Eropa telah membuahkan keuntungan luar biasa bagi penerbit sedangkan si pemilik karya tidak banyak mendapatkan keuntungan materil. Para fuqaha ada yang mentakhrijnya dengan mengqiyaskan kepada pendapat dalam Fiqh Hanafi tentang Nuzul an Wazha’if bi Mal.Di antara mereka ada pula yang tidak menetapkan hak ini dengan mentakhrijnya kepada kemaslahatan menyebarkan pemikiran Islam dan melepaskannya dari seluruh pembatasan-pembatasan. Sebagian lagi ada yang memberikan hak tersebut dalam jangka waktu tertentu dan setelah beberapa tahun berlalu hak itu menjadi milik orang banyak demi menyebarkan ilmu pengetahuan yang tidak boleh disembunyikan. c. Pentakhrijan pendapat Imam Syafiiy shalat al-Wusta adalah Subuh, akan tetapi terdapat hadits yang sahih yang mengatakan shalat al-Wusta adalah shalat Ashar, sedangkan kaidah mazhab adalah mengikuti Hadits . Maka jadilah sebuah keputusan mazhab bahwa shalat al-Wusta itu adalah shalat Ashar dan pengarang buk al-Hawi mengatakan tidak ada dua pendapat seperti yang dikatakan oleh para sahabat Meirison, ―Riba and Justification in Practice in Scholars Views,‖ TRANSFORMATIF 2, no. 1 September 20, 2018 348, Meirison Meirison, ―Implementasi Tanqih Al-Manath Dalam Penerapan Hukum,‖ Nizham Journal of Islamic Studies; Vol 2 No 1 2014 Mazhab Hukum Islam Di Indonesia, September 25, 2017, Abdullah bin Ibrahim Musa, Al-Mu’awadhah Ala al-Huquq Ad-Dhawabit Wa Tatbiquha Kairo Syabab al-Azhar, 1988, h. 177. Kamaluddin Muhammad Muhammad Abdul Wahid, Fath Al-Qadir Ala al-Hidayah Beirut, Lebanon Dar al-Fikr, 1990, h. 257. al-Mawardi al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, vol. 2 Beirut, Lebanon Maktabah at-Turats al-Arabi, 1988, h. 321. 68 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Penutup Dapat diambil kesimpulan sesuai dengan pembahasan diatas, bahwa Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul adalah ilmu yang menerangkan kaidah ushuliyah yang dibangun oleh para imam, salah satunya adalah furu’ dalam fatwa, mengikatnya dan menyamakan dengan perkara yang sejenis dan tidak pernah difatwakan. Ruang lingkup ilmu takhrij al-furu’ ala al-ushul adalah qawa’id ushuliyah dan furu’ fiqhiyah, dari konstruksi yang kedua atas yang pertama penyamaan. Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul, mengenal konstruksi fikih yang dibangun oleh para imam, dan mengeluarkan hukum yang tidak ada nashnya, menumbuhkan kemampuan dan bakat dalam ilmu fikih, menerapkan ilmu ushul fikih dalam praktik nyata di lapangan, maka didapatkanlah hubungan antara fikih dan ushulnya. Kemudian menerangkan perbedaan pendapat ilmiah dan metode serta kaidah dalam istinbath. Hanya saja perkembangan ilmu ini sangat tergantung praktik hukum Islam yang diterapkan di lapangan sehingga terjadilah hubungan interaksi antara teori dan praktik. Sebagian ulama mengatakan bahwa perbuatan imam semata tidak dianggap sebagai bagian dari mazhab. Imam bukanlah seorang yang masum terlindung dari dosa, dan tidak bisa diqiyaskan kepada Nabi Muhammad Nabi terlindung dari kesalahan dengan adanya wahyu. Perbuatan imam penuh dengan spekulasi adakalanya benar dan adakalanya salah. Oleh karena ini seluruh penafsiran yang berasal dari mazhab bersifat zani yang tidak mengikat bagi seseorang untuk mengikutinya. Hal ini berbeda statusnya dengan kesepakatan imam dan perkataannya yang berasal dari pemikiran dan kesadaran penuh dalam melakukannya. Daftar Pustaka Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran, Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran. al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Ahmad. Kairo Maktabah Ibnu Taimiyah, 1977. Abdu Rabb an-Nabi, Abdu Rabb an-Nabi. Dustur Al-Ulama’. Vol. 2. 2 vols. Beirut, Lebanon Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010. Abdul Latif Hidayah, Abdullatif Hidayah. Nawazil Fiqhiyah Fi Al-Amal al-Qadha’i al-Maghribi. Rabath Maktabah Rabath, 2017. Abdullah bin Ibrahim Musa. Al-Mu’awadhah Ala al-Huquq Ad-Dhawabit Wa Tatbiquha. Kairo Syabab al-Azhar, 1988. Ahmad Ibn Abdul Haliim, Ibnu Taiymiyah. Al-Musawwidah, Muhaqqiq Muhammad Muhyi al-Din Abd al-Hamid. Beirut Dar al-Kutub, 1987. Alawi al-Saqaf, Alawi al-Saqaf. Al-Fawaid al-Makiyah. I. Riyadh Maktabah al-Rusyd, 1404. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan 


 69 al-Warqiyah Abd ar-Raziq. Ad-Dhawabit at-Tanzili. Beirut, Lebanon Dar al-Marifah, 2013. Ibnu Abidin, Ibnu Abidin. Radd Al-Mukhtar Ala Dur al-Mukhtar. Beirut, Lebanon Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1990. Ibnu Amir wa al-Haj, Ibnu Amir al-Haj. At-Taqrir Wa Tahbir. Kairo Maktabah an-Nasr, 2014. Ibnu Farhun al-Maliki, Ibnu Farhun al-Maliki. Kasyf Al-Naqab al- Hajib Fi Mushthalah Ibn al-Hajib, Ditahqiq Oleh Hamzah Abu Faris Dan Abd al-Salam al-Syarif. Rabath Dar al-Gharb al-Islami, 1990. Ibnu Nujaim, Ibnu Nujaim. Al-Bahr Raiq Syarah Kanz Ad-Daqaiq. Beirut, Lebanon Dar al-Kitab al-Islami, 2015. Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah. Majmu’ al-Fatawa. Vol. 30. 30 vols. Kairo Dar al-Hadits, 1988. Jamaluddin Mahmud, Jamaluddin Mahmud. Ijtihad Jama’i Fi Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah. Abu Dhabi Jamiah Imarat, Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani. Manhaj Istikhraj Al-Ahkam al-Fiqhiyah Li an-Nawazil al-Mu’ashirah. Vol. 2. 2 vols. Makkah Universitas Umm al-Quta, Mawardi, al-Mawardi al-. Al-Hawi al-Kabir. Vol. 2. Beirut, Lebanon Maktabah at-Turats al-Arabi, 1988. Meirison, Meirison. ―Implementasi Tanqih Al-Manath Dalam Penerapan Hukum.‖ Nizham Journal of Islamic Studies; Vol 2 No 1 2014 Mazhab Hukum Islam Di Indonesia, September 25, 2017. ———. ―Riba and Justification in Practice in Scholars Views.‖ TRANSFORMATIF 2, no. 1 September 20, 2018 348. Muhammad Abdul Wahid, Kamaluddin Muhammad. Fath Al-Qadir Ala al-Hidayah. Beirut, Lebanon Dar al-Fikr, 1990. Muhammad Riyadh, Muhammad Riyadh. Ushul Al-Fatwa Wa al-Qadha’ Fi al-Mazhab al-Maliki. Maroko Matbaah al-Najah, 1416. Musfir bin Ali bin Muhammad, Musfir bin Ali bin Muhammad. Manhaj Istinbath Ahkam Al-Nawazil al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah. Jeddah Dar al-Andalus al-Khudhoro, 2003. Saad al-Syatari, Saad al-Syatari. Al-Takhrij Baina al-Ushul Wa al-Furu. Kairo Dar al-Hadits, 1989. 70 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Sulaiman Majid, Sulaiman Majid. Takhrij Furu’ Ala al-Ushul. Kairo Maktabah Wafa, Syaikh Wali Allah ad-Dahlawi, Syaikh Wali Allah al-Dahlawi. Al-Inshaf Fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf, Ditahqiq Oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah. Vol. 2. 1 vols. Beirut, Lebanon Dar al-Kutub Ilmiyah, 1987. Syaikh Yaqub al-Ba Husain, Syaikh Yaqub al-Ba Husain. Al-Takhrij Inda al-Fuqoha’ Wa al-Ushuliyin. Riyadh Maktabah al-Rusyd, 1414. ... According to monzer kahf, the primary function of Zakat is to achieve socioeconomic justice. Zakat is a simple transfer of a portion of a specific size for the rich muzaki to be allocated to the miskun mustahik Sali, Saharuddin, and Rosdialena 2020 . In the moral field, Zakat reduces greed and greed in the hearts of the rich. ...... They told this Azal incident to the Prophet while expecting the Prophet's guidance about the law. It turns out that the Prophet did not determine the law, while the revelation still coming down did not resolve the law Sali et al., 2020. ... Meirison MeirisonNurika PramestyRani Amelia GuchiThis paper aims to discuss contemporary problems precisely according to the contents of our article entitled recent issues in social life. Today, the current issues continue to develop following changes in increasingly sophisticated technology and global development. In modern times, there are many contemporary problems in society, such as marriage contracts by telephone, underhanded marriages, family planning and limiting the number of children, marrying pregnant women for adultery, homosexuals and lesbians, monogamy, and polygamy. The data has been verified previously by conducting a literature study, a qualitative approach, and descriptive analysis. From data processing with this method, a finding was obtained that Muslims must be able to think rationally and critically to address such matters and the need to revisit solutions according to Islamic law to solve these problems. Contemporary problems are not far removed from the classic problems faced by the previous Ulama, which have been discussed in the classic books they have written, such as the LGBT issue, issues around marriage such as birth control or family planning, and many other problems that fatwas can answer. Fatwas and fiqh opinions existed in the classical period, which only changed the social dimension and perspective in modern times. Keywords problems, contemporary, life, society, fiqh Meirison MeirisonAyu RustianaFikri MuhtadaMuhammad Abdul AzizThis article aims to find out the opinion of the imams of the mazhab regarding the law of Taklifi. The discussion of the law of Taklifi 'is one of several studies of Usul Fiqh. In fact, one of the main objectives of the study of Usul Fiqh is how to deduce the law of Taklifi 'from its sources and its current application. The method used in this work is to use descriptive analysis methods using literature studies from several reliable sources. The literature review results are that a Mukalaf uses Taklif laws to become a foundation in carrying out worship. Taklifi law, according to the understanding of language, is the law of giving a burden, while according to the term, it is Allah's commandment in the form of choices and demands. It is called Taklifi law because this command is directly about the actions of a Mukalaf Balig and common sense. The law of Taklifi has divisions; namely, Ijab is a word that demands to do an action with definite demands, Nadb is the word of God that demands to do an action with an uncertain action. Still, only in the form of a suggestion to do, Tahrim is a word that demands not to do an act with definite demands, Karahah is the word of God which demands not to do an action with uncertain demands, but only in the form of a suggestion not to do something. Worship is the word of Allah that gives freedom to Mukalaf to do or not to do something. Meirison MeirisonDarni YusnaOne of the biggest obstacles to applying Islam as a social system in the modern secular state is the dilemma of codifying the provisions of Islamic Sharia within the mold of the Western legal system. Methods of preparing and promulgating those laws. Islamic Sharia, in its essence, is spiritual and devotional, and its material legislation tends to organize society so that it is possible to establish the orders of religion, achieve its purposes for people, and reform their conditions in this world and the Hereafter. Therefore, Sharia does not know boundaries, geographical boundaries, and the boundaries between this world and the Hereafter. And because the purposes of Western legislation are, in essence, purely materialistic, it seeks to achieve immediate material benefit to society. It does not concern itself with the condition of people in the Hereafter. The invocation of the concept of the Hereafter is a limit. The same when discussing Western legislation may cause ridicule and belittling among its supporters; Therefore, the hegemony of Western legislation with its vocabulary over Islam would result in a significant dilemma. The imams who are followed and accepted by a group of people, or the scholars whom others trust and obey, are human beings who make mistakes and are right. Their rulings are necessarily and inevitably affected by the level of knowledge, intelligence, integrity, whim, error, ignorance, and bias. When applying these rulings, they naturally need authority compelling political and capable of executing and implementing the provisions. And this authority is gained power by predominance and control, or the people elect it. Thus, whoever decides legitimacy is either a dominant political-military authority or an elected politician protected by a social contract upon which all or most of the citizens agree!Makhsus MakhsusIlda HayatiHusnul Fatarib Desmadi SaharuddinBasically, a Muslim does not leave the Muslim community, but with the development of Islam many problems occur. The departure of the Prophet Yusuf from the Muslim community has been described in the Qur'an. He served various maturity processes under the guidance of Allah al-Mighty. The figure of the Prophet Yusuf has been depicted and immortalized as a shadow ruler who officially served as minister of finance, agriculture and head of the logistics affairs agency. The question arises whether a Muslim can become a non-Muslim leader who will later be neglected and will have a negative impact on the faith and syari'ah carried out by Muslim leaders who control non-Muslim governments. With literature study and content analysis approach, the writer describes the literature qualitatively about the status of Muslims who are in the midst of non-Muslims and vice versa, to dismiss the opinion of good kafirs who are more worthy of being leaders than evil and corrupt Muslims. A Muslim can become a leader in the midst of non-Muslims for the benefit and preaching of Islam as was done by the Prophet Yusuf who proved himself clean after leaving prison. The criteria for a leader in Islam are flexible enough that sometimes a Muslim who is not consistent with sharia rules can sometimes bring great benefits to Muslims. Not only that, many Muslim leaders who were very instrumental in protecting Muslims and spreading Islam in Russia such as Berke Khan have deployed infidel armies to protect Muslims from dasarnya seorang muslim tidak meninggalkan komunitas muslimnya, akan tetapi seiring perkembangan islam banyak masalah yang muncul. Hengkangnya Nabi Yusuf dari komunitas Muslim telah dijelaskan dalam Alquran. Dia menjalani berbagai proses pendewasaan di bawah bimbingan Allah swt. Sosok Nabi Yusuf telah digambarkan dan diabadikan sebagai penguasa bayangan yang resmi menjabat sebagai menteri keuangan, pertanian, dan kepala badan logistik. Timbul pertanyaan apakah seorang Muslim bisa menjadi pemimpin non-Muslim yang nantinya akan terabaikan dan berdampak negatif pada keimanan dan syari'at yang diemban oleh tokoh Muslim yang menguasai pemerintahan non-Muslim. Dengan pendekatan studi pustaka dan analisis isi, penulis mendeskripsikan literatur secara kualitatif tentang status umat Islam yang berada di tengah-tengah non-Muslim dan sebaliknya, untuk menepis pendapat seorang kafir yang baik lebih layak menjadi pemimpin daripada seorang Muslim yang jahat dan korup. Seorang Muslim bisa menjadi pemimpin di tengah-tengah non-Muslim untuk kemaslahatan dan dakwah Islam seperti yang dilakukan oleh Nabi Yusuf yang membuktikan dirinya bersih setelah keluar dari penjara. Kriteria seorang pemimpin dalam Islam cukup fleksibel sehingga terkadang seorang Muslim yang tidak konsisten dengan aturan syariah dapat membawa manfaat yang besar bagi umat Islam. Tidak hanya itu, banyak pemimpin Muslim yang sangat berjasa dalam melindungi umat Islam dan menyebarkan Islam di Rusia seperti Berke Khan yang telah mengerahkan pasukan kafir untuk melindungi umat Islam dari purpose of this study was to ascertain the murafa’at fiqh Saudi Arabian Law and the Indonesian Criminal Procedure Code's perspectives on a convict's plea for i’adah al-nadzr reconsideration. This was a normative juridical inquiry, which entailed poring over relevant material to gather data, assess content, and draw similarities between positive law and Islamic criminal law. The findings of this study indicated that review in positive law, referred to in Saudi Arabia's murafa’at fiqh as i’adah al-nadzr/al-muhakamah, attempted to ensure legal justice and judge justice in their rulings. There were parallels between positive law and murafa’at fiqh in terms of the justifications for filing reconsideration. There were, however, distinctions regarding the giyabi case as a basis for submitting reconsideration. In Saudi Arabia's murafa’at fiqh, the reconsideration application in the giyaby case could be accepted, although positive law did not cite the giyaby ruling as a reason to seek reconsideration. Positive law, on the other hand, provides for the possibility of resistance verzet if the defendant was not present in court and has not protested Verstek's ruling. Another parallel between positive law and Saudi fiqh murafa’at was seen in the reconsideration application regulations, which prohibited suspending the execution of rulings. However, the researcher notes that this rule cannot be applied universally. Dany Indra PermanaKajian Pandangan Syihabuddin Az-Zanjani Tentang Perbedaan Takhrijul furu Alal ushul Antara Mazhab Syafi’I dan Hanafi Dalam Pembahasan Wawu Nasiqoh, Minimal Sah, dan 'Illat wajibnya zakatRemiswal RemiswalAyu AngrainiAsma BotiZerly Nazarp> This paper discusses qiyas and maslahah mursalah. The goal is to make it easier for us to establish a law. The data collection method that the writer uses is a literature study in the form of searching for books related to qiyas and maslahah mursalah. Qiyas In language Arabic means measuring, knowing the size of something, comparing, or equating something with another. For example قمŰȘ Ű§Ù„Ù„ÙˆŰš ŰšŰ§Ù„Ù†Ű±Ű§Űč which means "I measure clothes in cubits." According to Ushul Fiqh terminology, as stated by Wahbah al-Zuhaili, qiyas is connecting or equating the Law of something with no legal provisions with legal provisions there is Illat similarity between the two. The meaning of Maslahah in Arabic means "actions that encourage human goodness." This article uses the induction and deduction methods and the descriptive analysis approach by conducting a literature study. The result shows that Allah decreed all the laws to his servants in orders/prohibitions containing Maslahah and benefits. The specialty of this paper is that it is written in detail based on arguments so that it is easy to understand. Qiyas and maslahah mursalah are very important for us to understand more deeply to determine an appropriate law. Maslahan Mursalah is an extension of qiyas if there are no more arguments that can support qiyas. Artikel ini membahas tentang qiyas dan maslahah mursalah. Tujuannya untuk memudahkan dalam membuat undang-undang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan berupa pencarian kitab-kitab yang berhubungan dengan qiyas dan maslahah mursalah. Qiyas dalam bahasa Arab berarti mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Misalnya Ű§Ù„Ù„ÙˆŰš ŰšŰ§Ù„Ù†Ű±Ű§Űč yang artinya "Aku mengukur pakaian dalam hasta". Menurut istilah Ushulfiqh, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili, qiyas adalah menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan ketentuan hukumnya terdapat kesamaan illat antara keduanya. Arti Maslahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan -perbuatan yang mendorong kebaikan manusia”. Artikel ini menggunakan metode induksi dan deduksi serta pendekatan analisis deskriptif dengan melakukan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Allah menetapkan segala hukum kepada hamba-hamba-Nya dalam perintah/larangan yang mengandung maslahah dan kemaslahatan. Keistimewaan makalah ini adalah penulisannya secara detail berdasarkan argumentasi sehingga mudah dipahami. Qiyas dan Maslahah Mursalah sangat penting untuk dipahami lebih dalam untuk menentukan hukum yang tepat. Maslahan Mursalah merupakan perpanjangan dari qiyas jika tidak ada lagi dalil yang dapat mendukung qiyas.

.
  • re373x3eyk.pages.dev/589
  • re373x3eyk.pages.dev/321
  • re373x3eyk.pages.dev/395
  • re373x3eyk.pages.dev/305
  • re373x3eyk.pages.dev/805
  • re373x3eyk.pages.dev/352
  • re373x3eyk.pages.dev/900
  • re373x3eyk.pages.dev/226
  • re373x3eyk.pages.dev/614
  • re373x3eyk.pages.dev/86
  • re373x3eyk.pages.dev/901
  • re373x3eyk.pages.dev/597
  • re373x3eyk.pages.dev/849
  • re373x3eyk.pages.dev/898
  • re373x3eyk.pages.dev/594
  • ushul dan furu dalam aqidah